Entah darimana bulan itu terbit, karna senjaku terlalu
sombong untuk membenamkannya, bisa saja aku habiskan kopiku di sela senjaku,
tapi terlalu pahit untuk melupakan waktu, benar saja bulan itu datang
sewaktu-waktu, tapi entahlah, mungkin saja aku salah menerka itu bulanku, bulan
yang dirindukan bintang, tapi tak pernah terlintas sepi dalam benakku untuk
meluapkannya, bukan saja takut, tapi ada kesadaran diri yang sudah lama aku
benci, kopiku terlihat menertawaiku,entah itu tertawa membodohi atau bahkan
sebaliknya, tapi aku yakin kopiku pagi ini adalah saksi dimana rasa sejati,
kopi yang sejatinya meluluhkan rasa termanis, agar keduanya saling seimbang,
lalu aku menertawai kopiku, bukannya membodohi, tapi itu adalah kesejatian,
dimana rasa yang bisa saja luarbiasa, berasal dari kedua rasa yang saling
menolak,bukan tentang jarak, tapi tentang bagaimana agar selalu dekat, tentang
bagaimana saling membutuhkan.
kusimpulkan lagi
senyumku sesaat kupandangi bulan didompetku, matanya menggodaku untuk
mengajaknya menari, dimana disetiap sisinya terguyur hujan,bulanku pagi ini
terlalu kurang ajar, menumbuhkan rindu yang kurasa begitu sendunya,
menggebu-gebu aku dibuatnya, namun aku ingin kau mengajariku tentang bagaimana
mengungkapkan, karna jujur saja aku bukanlah salah satunya, karna yang kurasa
pada saat itu, adalah rasa dimana hanya satu kali saja semua orang
melakukannya, dan yang berhasil meluapkannya adalah sesuatu yang hebat pada
dirinya, seseorang yang kesadaran dirinya tak terbatas.
masalah adalah jarak diantara kita, menjelma layaknya cermin
yang memantulkan, yang disetiap sisinya terlihat sama, lalu kau bawa aku masuk
dalam lingkaran dimana ku berharap kau akan mengikatku, tapi tidak, kau hanya
membiarkanku ditengahnya, entah sampai kapanpun itu, kau membuatnya agar aku
tak melihat dari sudut manapun, itu agar kau tetap terlihat menarik, kau tau?
kau menghidupkanku semaumu, tapi dengan begitu saja kau menghidupkan semuaku,
ingin sekali kusingkat jarak kita, mendekat agar tak terlalu jauh, dekat agar
selalu dekat.
Entahlah, tapi gadis yang kusebut bulan itu adalah kopi
terbaikku, aromanya lebih menarik dari siapapun, auranya menyikut siapa saja
yang menatapnya, benar saja aku tertarik padanya, benar saja kau sikut aku
tegak lurus dimana keduanya bertemu,
keduanya adalah ketertarikan dan ketakutan, ketakukutan atas perasaanku
sendiri, dan aku hanya bisa menertawai perasaanku sendiri,tapi terlintas
perasaanku begitu menarik, tapi entahlah, aku malu dibuatnya.
Bukan hal tabu jika aku terus mengaguminya, kulihat jam di
arlojiku, lalu kulihat perasaanku,entah apa yang menyangkutkan keduanya, namun
inilah rumus cinta yang sesungguhnya, semakin jauh waktu nantinya, akan semakin
besar perasaannya, itulah kata pujangga yang hancur dalam rindunya.
Entahlah, aku seperti menggenggam angin, semakin besar
apapun itu akan tetap saja, berharap hangat namun ternyata dingin, itulah sikap
angin pada dasarnya, percuma saja tiap malam kunyanyikan lagu sendu tapi
kenyataanya kau tak menatapnya, ah aku membodohi diriku sendiri, aku
menyanyikannya seharusnya bukan untuknya, tapi untuk perasaan yang tak harus di
mengertinya, itulah sikap ikhlas dalam mengagumi.
Jangan pernah waktu kerjamu mengganggu kopimu, dan tidur
hanyalah membuang waktu kopimu.
Morning, love you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar