Selasa, 22 Desember 2015

Puisi nih hehe

Bintang kecil paling menawan

Hadirmu yang dulu semu dalam hidupku
Membuatku buta tentang sosokmu
Dan sekarang kau hadir bak petaka
Perkara yang ku anggap sekeping rasa

Kau tahu? Tiap malam kunyanyikan lagu rindu
Lagu dimana ku berharap kau menatapku
Kau sadar? Aku keluar garis sadarku
Seketika aku dapati senyummu

Tak banyak orang yang pandai berpura-pura atas perasaannya sendiri
Sesekali aku bisa berkata bodoh membodohi
Membencimu karena jauh
Menjauhimu karena dekat

Aku hanya mampu menyebut namamu dengan suara tertahan dari jantungku
Sedangkan kau tergambar jelas dalam nadiku
Nadi yang disetiapnya semakin padu
Dengan rasa yang sekian hari semakin menggebu-gebu

Langit lahirkan sunyinya sajak pujangga
Pujangga yang hancur dalam rindunya
Taukah kau siapa dia?
Aku, ya aku!
Aku yang takmau redup dalam tatapmu
Aku yang ingin sekali menyentuh hatimu
Aku yang bernadi serasi iramamu
Bak relasi gelap terbias membiasakan auramu

Seketika tertegap hatiku ini begitu sayang
Ketakutan yang slalu aku takuti datang
Begitu jemariku terlalu kecil untuk hatimu yang begitu besarnya
Dering alasku pun tak senyaring jauh besar sebegitunya

Tapi dengarlah gadis, Aku mencintaimu
Maka ijinkan aku menikmatinya, bahkan di setiapnya
Bahkan saat kau pergi menggalang rinduku di saatnya
Bahkan rindu seorang pengagum tak tahu diri di takdirnya

Untukmu gadis yang slalu jadi bintang
Yang kecil jauh dari hati
Paling menawan begitu garis lengkapnya melintang
Sungguh kehadiranmu bak jati diri
Maka ku ujarkan apa yang harusnya ku tentang
Maaf hatiku memilih kau untuk kukagumi.

ENTAHLAH

Entah darimana bulan itu terbit, karna senjaku terlalu sombong untuk membenamkannya, bisa saja aku habiskan kopiku di sela senjaku, tapi terlalu pahit untuk melupakan waktu, benar saja bulan itu datang sewaktu-waktu, tapi entahlah, mungkin saja aku salah menerka itu bulanku, bulan yang dirindukan bintang, tapi tak pernah terlintas sepi dalam benakku untuk meluapkannya, bukan saja takut, tapi ada kesadaran diri yang sudah lama aku benci, kopiku terlihat menertawaiku,entah itu tertawa membodohi atau bahkan sebaliknya, tapi aku yakin kopiku pagi ini adalah saksi dimana rasa sejati, kopi yang sejatinya meluluhkan rasa termanis, agar keduanya saling seimbang, lalu aku menertawai kopiku, bukannya membodohi, tapi itu adalah kesejatian, dimana rasa yang bisa saja luarbiasa, berasal dari kedua rasa yang saling menolak,bukan tentang jarak, tapi tentang bagaimana agar selalu dekat, tentang bagaimana saling membutuhkan.
 kusimpulkan lagi senyumku sesaat kupandangi bulan didompetku, matanya menggodaku untuk mengajaknya menari, dimana disetiap sisinya terguyur hujan,bulanku pagi ini terlalu kurang ajar, menumbuhkan rindu yang kurasa begitu sendunya, menggebu-gebu aku dibuatnya, namun aku ingin kau mengajariku tentang bagaimana mengungkapkan, karna jujur saja aku bukanlah salah satunya, karna yang kurasa pada saat itu, adalah rasa dimana hanya satu kali saja semua orang melakukannya, dan yang berhasil meluapkannya adalah sesuatu yang hebat pada dirinya, seseorang yang kesadaran dirinya tak terbatas.
masalah adalah jarak diantara kita, menjelma layaknya cermin yang memantulkan, yang disetiap sisinya terlihat sama, lalu kau bawa aku masuk dalam lingkaran dimana ku berharap kau akan mengikatku, tapi tidak, kau hanya membiarkanku ditengahnya, entah sampai kapanpun itu, kau membuatnya agar aku tak melihat dari sudut manapun, itu agar kau tetap terlihat menarik, kau tau? kau menghidupkanku semaumu, tapi dengan begitu saja kau menghidupkan semuaku, ingin sekali kusingkat jarak kita, mendekat agar tak terlalu jauh, dekat agar selalu dekat.
Entahlah, tapi gadis yang kusebut bulan itu adalah kopi terbaikku, aromanya lebih menarik dari siapapun, auranya menyikut siapa saja yang menatapnya, benar saja aku tertarik padanya, benar saja kau sikut aku tegak lurus dimana keduanya bertemu,  keduanya adalah ketertarikan dan ketakutan, ketakukutan atas perasaanku sendiri, dan aku hanya bisa menertawai perasaanku sendiri,tapi terlintas perasaanku begitu menarik, tapi entahlah, aku malu dibuatnya.
Bukan hal tabu jika aku terus mengaguminya, kulihat jam di arlojiku, lalu kulihat perasaanku,entah apa yang menyangkutkan keduanya, namun inilah rumus cinta yang sesungguhnya, semakin jauh waktu nantinya, akan semakin besar perasaannya, itulah kata pujangga yang hancur dalam rindunya.
Entahlah, aku seperti menggenggam angin, semakin besar apapun itu akan tetap saja, berharap hangat namun ternyata dingin, itulah sikap angin pada dasarnya, percuma saja tiap malam kunyanyikan lagu sendu tapi kenyataanya kau tak menatapnya, ah aku membodohi diriku sendiri, aku menyanyikannya seharusnya bukan untuknya, tapi untuk perasaan yang tak harus di mengertinya, itulah sikap ikhlas dalam mengagumi.
Jangan pernah waktu kerjamu mengganggu kopimu, dan tidur hanyalah membuang waktu kopimu.

Morning, love you.