Rabu, 21 Oktober 2015

BINGUNG? BOSAN? JENUH? ENAKNYA GINI BRO

Oke, selamat malam stalker, gini terkadang self control itu emang bener bener harus dijadiin prioritas, kadang kaya gimana sih takdir kita, kaya gimana sih aku di 20 tahun atau berapapun kedepan? nah yang terpenting bukan cuma njalanin gimana hidup kita, cobadeh atur waktu kaya bikin life schedule gitu. sengganya pertama kamu bikin kayajadwal tidur dan jadwal bangun, kalo itu udah teratur,lanjut ke jadwal makan, dan baru jadwal yang kamu btuhkan, time is money itu skrg emg belum kerasa, tapi nanti kita bener-bener bakalan nyeselin kaya "ah seharusnya gue dulu gini, kaya gitu bla bla bla." udah deh bro you must go on, jangan jadi pribadi yang biasa-biasa aja, kamu itu luar biasa loh, buktinya kamu ngalahin ribuan sperma dari bapamu, yakan? dan km juga sempet training di kandungan ibu kurang lebih 9 bulan, yakan? dan kamu lolos dengan selamat, yakan? apa kamu mau ngecewain ribuan kembaranmu yang gagal karna begitu luar biasanya kamu? apa kamu masih ngerasa paling bodoh? never feel it bro, kalo kamu ngerasa dimana titik terbesar kejenuhanmu dalam hidupmu, cobadeh lihat dirimu, looking at the miror, katakan pad cermin mau jadi apa kalo aku seperti ini terus? apakah ayah dan ibuku melahirkanku untuk merasa jenuh? apakah tuhan menciptakanku untuk selalu bersandar dalam diam? luapkan saja apa yang kamu jenuhkan sekarang, jangan dengan suara tertahan, karna pada dasarnya pendengar terbaikmu adalah dirimu sendiri, diri kamu tuh memang gabisa njawab dengan saran yang biasa dikasih temen kamu, tapi lebih gimana kenyamanan di kemudian hari yang bakalan kamu rasain, just wanna say apa yang kamu lakuin yang kamu rasain itu cuma kamu dan tuhan yang tahu, tuhan gak ngasih kita wahyu kalo kamu gini kamu kudu gitu, haha gak sebercanda itu bro, serajin apapun ibadahmu tuhan gabakal biarin makhluknya malas, kerja keras itu penting bro, aku punya cerita gimana sih tuhan ngasih jawaban, jadi gini..
pada suatu hari ada kakek yang usianya lanjut, dia rajin sekali ibadhnya, dia tinggal di pemukiman yang aman tentram bersama anak dan cucunya, short story pemukiman itu mengalami hujan yang begitu lebatnya, lalu kakek itu berdoa di sholat malam yang biasa dilakukannya
"tuhan, apa yang akan terjadi? lindungi aku dan keluargaku tuhan, aku masih ingin hidup bersama mereka."
lalu apa yang terjadi? keesokan harinya tenyata pemukiman itu banjir semata kaki, padahal pemukiman itu belum pernah banjir sebelumnya. sang kakek pun bertanya pada anak tunggalnya.
"hey rudi, mau kemana kau? tetaplah disini, ini tidak akan bertahan lama."
"sebaiknya kita mengungsi saja kek, pemerintah menyarankan begitu, ayo kek kemasi barang mu, atau perlu aku yang mengemasnya?" jawab anaknya.
"tidak perlu, tuhan pasti menolongku, lupakan kakek, kalian pasti akan kembali, dan kakek slalu menunggumu, ertahun-tahun kakek disini dan kejadian ini mungkin tidak akan lama,"
"yasudahlah kek, yang penting tetap kabarin saya yah?" ujar anaknya yang kemudian mendekapnya."
"kakek dimana barang kakek?" tanya cucunya yang begitu lucu menarik narik baju kakek.
kakek itu menunduk, "annisa, kakek masih punya banyak pr, jadi kakek disini dulu ya?" kemudian mereka berpelukan.
singkat cerita kakek itu tinggal seorang diri, semakin hari banjir semakin meninggi, sampai kakek itu sholat di atas meja makan, dia berdoa lagi di sepanjang sepertiga malam itu,
"ya tuhan, anak cucuku meninggalkan aku, bencana terbesarku bukan tentang nyaawaku, tapi tentang kebersamaan bersama mereka tuhan, ingin rasanya mereka kembali dan menghabiskan umurku bersamanya, selamatkan mereka ya tuhan, lindungi mereka." ujar kakek itu bersedih
keesokan harinya banjir merangkak sampe ke perut dewasa, tim penolong pun nampak sudah berpatroli untuk mengevakuasi warga yang masih terjebak, bersama dengan anaknya dan cucu kakek itu, tim penolong mengunjugni rumahnya, dan bertemu kakek tersebut,
"ayo kek kita mengungsi, jabat tanganku, aku ingin hidup bersama kakek lebih lama," ujar rudi.
"tidak perlu rudi, jika kau ingin bersamaku, tinggalah disini bersamaku, aku begitu mencintai rumah ini karna ibumu."
"yang terpenting bukan itu kek, lalu siapa yang akan menolong kakek? kek ikutlah bersamaku," sambung rudi
"tidak anaku, tuhan pasti akan menolongku, kau tak perlu khawatir, jika memang kau lebih percaya mereka, pergilah."
"bagaimana aku tidak khawtair? sedang ayahku satu-satunya ditengah bencana, ayolah kek ikut bersamaku, nanti kalo sudah reda kesini lagi."
"pergilah nak,"
"ayoo kek, annisa ingin pr annisa di jadiin cerita lagii." saut cucunya dari sekoci penolong.
"pergilah nak, naiklah sekoci itu, temui cucumu,  selamatkan dirimu." kemudian kakek itu beranjak naik ke atap rumahnya, "aku akan baik baik saja annisa, pr kakek akan selesai," sambungnya dari atap pohon smabil melambaikn tangannya.
singkat cerita kakek itu bertanya kepada tuhan kenapa tuhan tak menolongnya? dan membuat mereka percaya dengannya?
kemudian banjir itu semakin tinggi dan menenggelamkan kakek itu, anak dan cucunya pun bersedih menyesal kenapa mereka tidak coba memaksanya. dan selesai.
apa yang kalian tangkap? tuhan tak menolong kita? haha you wrong bro! tuhan menolong kita tanpa kita sadari, tuhan mendengarkan setiap doa umatnyaa, pada contoh tadi tuhan ngasih opsi penolongan berkali kali, mungkin tuhan kaya ngasih jawaban yang lebih indah tapi dengan sisi berbeda, dimana sisi itu akan lebih baik dari sebelumnya, tuhan tidak mungkin berkata hai kakek, pergilah, tidak, tidak mungkin, tuhan selalu menolong lewat perantara, jika kesempatan datang berkali kali dan ujian berkali kali, tuhan begitu menyayangimu.
oke aku ykin kalian mengertinya. dan aku harap ini bisa jadi bahan pertimbangan untuk kedepannya, bahwa kaya apa salahnya kita mendengarkan sekitar kta? so life everytime change, tinggal kamunya aja gimana cara menanganinya, somebody have his problem, and somebody have everything, tinggal gimana kita milih opsinya, lalu aplikasikan untuk jadi passion kita, opsinya dari tuhan, dan itu tidak akan pernah merugikan.
so kesimpulannya kamu harus lebih bisa mengondisikan doamu dengan opsi yang tuhan kasih, pilih yang kemungkinan paling benar kamu percayai, karna syetan juga ngasih opsi yang merugikan, rugi tidak akan pernah menyenangkan bro, tapi mengalah bukan salah satunya, jadi gitu aja deh ya bro, sialhkan kamu nyimpulin dari sekian banyak yang aku tulis, semoga aja ini bermanfaat dan memotivasi kamu to be a good person gitu,  bukannya aku menggurui, tapi lebih berbagi pemikiran saja, anggap saja ini kaya terik matahari, kalo kamu merasa kepanasan silahkan berteduh, oke gitu aja ya bro! see you next page ya bro!

SUPER DAD, NEVER DEAD!

Kematian ayah terjadi dengan cara yang tak pernah aku duga. Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia masih muda, malah terlalu muda. Ayahku bukanlah seorang musisi ataupun orang terkenal. Tapi kanker tak pernah memilih korbannya. Ayah meninggal ketika aku masih kecil dan aku baru tahu apa itu pemakaman karenanya. Saat itu usiaku baru 8,5 tahun dan hingga kini masih merindukannya.  Ayahku adalah orang yang menyenangkan dan humoris. Ia juga penyayang yang selalu mencium keningku sebelum aku tidur. Ayah tak pernah bilang kalau ia akan meninggal. Meskipun ia terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan selang di mana-mana, ia tak pernah bilang apa-apa. Hanya saja ia memberitahuku rencana yang ingin ia lakukan setahun ke depan, ia ingin pergi memancing, jalan-jalan, dan mengunjungi tempat-tempat baru. Tadinya aku percaya rencananya akan terlaksana, hingga suatu hari ibu menjemputku di sekolah.  Aku dan ibu pergi ke rumah sakit. Dokter bilang ia sudah berusaha sebaik mungkin. Lalu ibu menangis. Ia sebenarnya menyimpan secercah harapan. Kemudian aku merasa marah, bukankah penyakit ayah adalah penyakit biasa, penyakit yang bisa disembuhkan dokter dengan satu suntikan? Aku berteriak penuh amarah di rumah sakit. Sampai ketika aku benar-benar menyadari ayah telah tiada, aku menangis.  Meski raga ayah sudah tak bernyawa, tapi napas kehidupannya masih bisa kurasakan. Seorang perawat mendatangiku dengan membawa sebuah kotak sepatu. Kotak sepatu itu berisi banyak sekali amplop. Aku awalnya tak mengerti sampai ia bilang, "Ayahmu memintaku memberikan surat-surat ini untukmu. Ia menghabiskan waktu seminggu penuh menulis ini semua dan ia ingin kamu membacanya. Tetaplah tegar."  Sebuah amplop bertuliskan "Ketika Aku Pergi" kubuka. Lalu aku membaca isinya.  Putraku, Saat kamu membaca surat ini, Ayah sudah pergi. Maaf. Ayah sebenarnya sudah tahu kalau Ayah akan meninggal. Ayah tak mau memberitahumu apa yang akan terjadi, Ayah tak ingin melihatmu menangis. Meski sekarang mungkin kamu sudah menangis. Ayah merasa kalau pria yang tahu dirinya tak akan berumur panjang boleh saja bertindak sedikit egois. Namun, kamu tahu, Ayah belum mengajarimu banyak hal. Oleh karena itu, Ayah membuat semua surat ini untukmu. Kamu baru boleh membukanya di saat yang tepat. Oke? Ini adalah kesepakatan kita. Ayah mencintaimu. Jaga ibumu. Kamu adalah kepala rumah tangga sekarang. Penuh cinta, Ayah. NB: Ayah tak menulis surat untuk ibumu. Ia sudah mendapatkan mobil Ayah.  Ayah malah membuatku berhenti menangis karena tulisannya jelek. Meski hati ini sedih, tapi aku bisa sedikit tersenyum. Aku kini tahu kalau kotak sepatu itu berisi banyak pelajaran hidup yang bisa mendewasakanku nantinya.  Aku pun tumbuh menjadi seorang remaja. Aku dan ibu pindah ke rumah yang baru. Sepeninggal Ayah, Ibu mengencani banyak pria tapi tak ada satu pun yang bisa menjadi kandidat terbaik untuk menggantikan posisi Ayah. Tapi Ibu masih saja bergonta-gani kekasih. Aku marah. Aku kesal. Terlebih ketika Ibu menamparku setelah aku komplain dengan kekasih barunya.  Tamparan Ibu tak sesakit rasa perih yang kurasakan dalam hati. Dan saat itu aku teringat dengan kotak sepatu dan surat-surat almarhum Ayah. Kuambil sepucuk surat yang bertuliskan "Ketika Kamu Bertengkar Hebat dengan Ibumu."  Sekarang minta maaflah kepada Ibumu, Aku tak tahu kenapa kamu bertengkar dan siapa yang benar dan salah. Tapi aku mengenal ibumu. Jadi minta maaflah dengan tulus demi menyelesaikan ini semua. Yang kumaksud minta maaflah dengan hati yang sungguh-sungguh. Ia adalah Ibumu, anakku. Ia mencintaimu lebih dari siapapun di dunia ini. Kau tahu ibu melahirkanmu dengan penuh perjuangan? Pernahkah kamu melihat seorang wanita melahirkan? Masih perlukah kubuktikan cinta yang lebih besar dari itu semua? Minta maaflah. Ia pasti akan memaafkanmu. Penuh cinta, Ayah.  Ayahku bukanlah seorang penulis yang baik. Ia hanyalah seorang pegawai bank biasa. Tapi kata-kata yang ia tulis itu benar-benar menyentuh perasaanku.  Aku langsung pergi ke kamar ibu. Dan betapa terkejutnya aku karena ia menangis. Matanya memerah dan terlihat jelas dirinya pun ikut terluka. Aku merengkuh tubuhnya dan memeluknya, "Maafkan aku, Bu." Ia memelukku erat dan tak butuh kata-kata untuk membuat kami berdamai dengan perasaan masing-masing.  Ayah selalu bersamaku hingga detik ini. Surat-suratnya selalu memberiku semangat hidup. Sampai kemudian aku menikah dan akhirnya punya anak. Sepucuk surat berjudul "Ketika Kamu Menjadi Seorang Ayah" akhirnya kubaca.  Sekarang kamu tahu apa itu cinta yang sebenarnya, putraku. Kamu akan menyadari cintamu pada istri sangatlah besar, tapi rasa cintamu pada seorang malaikat kecil di sana akan lebih besar lagi. Aku tak tahu apakah ia laki-laki atau perempuan. Aku sudah menjadi mayat sekarang, bukan peramal nasib. Bersenang-senanglah. Ini adalah sebuah keajaiban. Waktu akan berlalu, jadi pastikan kamu selalu berada di dekatnya. Kenangan tak akan pernah bisa terulang. Mengganti popok dan memandikan bayimu akan memberi pelajaran berharga. Jadilah panutan yang baik untuknya. Aku yakin kamu akan menjadi ayah yang hebat, sepertiku.  Waktu terus berjalan. Sampai sebuah kejadian paling menyedihkan dalam hidup kembali terjadi... Ibu meninggal.  Kubuka surat dari Ayah berjudul "Ketika Ibumu Meninggal". Dan surat itu adalah surat terpendek yang Ayah tulis sekaligus yang paling mengharukan. Hanya berisi tiga kata, tapi aku tahu Ayah pasti merasa sangat sedih dan terpukul saat menulisnya.  Ibumu sekarang milikku.  Sebuah gurauan. Tapi aku yakin di balik nada bercanda itu, hatinya saat itu pasti terasa remuk.  Sungguh luar biasa. Aku sekarang menjadi seorang pria tua. Usiaku sudah melebihi usia mendiang Ayahku. Namun, kini aku terbaring di tempat tidur di rumah sakit yang sama dengannya dulu. Waktu sudah berlalu. Kini aku merasa tak berdaya.  Sepucuk surat berjudul "Ketika Waktumu Tiba" tergeletak di dalam kotak. Aku takut membukanya. Aku tak ingin meninggal terlalu cepat. Tapi kucoba kumpulkan keberanianku. Kutarik napas dalam-dalam dan membaca isi surat tersebut.......
This is the story where everybody wanna be but just somebody do it.
Kisah pemuda dan ibunya yang gila
Kisah : Bakti Seorang Anak Kepada Ibunya yang Memiliki Keterbelakangan Mental
Oleh : Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairy
Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya. Hingga aku tidak dapat menahan diri saat mendengarnya.
Aku pun menangis karena tersentuh kisah tersebut. Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan :
“Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit. Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya…
Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang ku ajukan.
Pemuda itu menjawab :
“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”
Keingintahuanku mendorongku untuk bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya?”
Ia menjawab : “Aku”
Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab : “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai. Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. Aku masukkan pakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya”
Aku bertanya : “Mengapa engkau tidak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab : “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dengan ibuku”
Aku terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar..
Aku pun bertanya : “Apakah engkau sudah beristri?”
Ia menjawab : “Alhamdulillah, aku sudah beristri dan punya beberapa anak”
Aku berkomentar : “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab : “Istriku membantu semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibuku. Aku telah mendatangkan pembantu untuk istriku agar dapat membantu pekerjaannya. Akan tetapi aku berusaha selalu untuk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”
Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab : “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”
Aku semakin takjub dengan pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…
Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi : “Siapa yang memotong kuku-kukunya?”
Ia menjawab : “Aku. Dokter, ibuku tidak dapat melakukan apa-apa”
Tiba-tiba sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil : “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”
Ia menjawab : “Tenanglah ibu, sekarang kita akan pergi ke kedai”
Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata : “Sekarang…sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata : “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak-anakku gembira…”
Aku sangat tersentuh dengan kata-katanya…dan aku pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu aku bertanya lagi : “Apakah Anda punya saudara?”
Ia menjawab : “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”
Aku bertanya : “Jadi Anda dirawat ayah?”
Ia menjawab : “Tidak, tapi nenek yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal – semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”
Aku bertanya : “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan Anda? Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”
Ia menjawab : “Dokter…sejak aku lahir ibu tidak mengerti apa-apa…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”
Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya…
Ia memegang tangan ibunya dan berkata : “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab : “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut…
Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dengan girang : “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Tentu…aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”
Aku katakan pada pemuda itu : “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab : “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.
Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku.
Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat…
Padahal sebenarnya aku tidak tahan lagi menahan tangis haru…
Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku…
Aku berkata dalam diriku : “Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tidak pernah menjadi ibu sepenuhnya…
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…
Ibunya tidak pernah merawatnya…
Tidak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…
Tidak pernah menyuapinya ketika masih kecil…
Tidak pernah begadang malam…
Tidak pernah mengajarinya…
Tidak pernah sedih karenanya…
Tidak pernah menangis untuknya…
Tidak pernah tertawa melihat kelucuannya…
Tidak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…
Tidak pernah….dan tidak pernah…!
Walaupun demikian…pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”. Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat. Seperti bakti pemuda itu pada ibunya yang memiliki keterbelakangan mental???.